JAKARTA, JurnaLodie.com – Aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, khususnya oleh PT Gag Nikel (anak perusahaan PT Antam Tbk), menuai sorotan tajam dari aktivis lingkungan, masyarakat, dan lembaga seperti Greenpeace Indonesia.
Wilayah ini dikenal sebagai salah satu ekosistem laut dan darat paling kaya di dunia, dan aktivitas tambang dianggap sebagai ancaman serius.
Greenpeace menilai pemanggilan pengusaha tambang oleh Kementerian ESDM belum cukup. Mereka mendesak pencabutan izin tambang, bukan sekadar evaluasi.
Penambangan di pulau kecil seperti Pulau Gag, Kawe, dan Manuran dinilai melanggar UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dikutip JurnaLodie.com dari Kompas.com, analisis Greenpeace menyebutkan telah terjadi kerusakan lebih dari 500 hektare hutan dan adanya sedimentasi akibat limpasan tanah, yang berpotensi merusak terumbu karang dan ekosistem laut.
Selain tiga pulau tersebut, Pulau Batang Pele dan Manyaifun juga terancam aktivitas serupa.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan akan menghentikan sementara seluruh operasi tambang nikel di Raja Ampat untuk evaluasi lebih lanjut.
Dari lima IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang ada, hanya PT Gag Nikel yang masih beroperasi.
Pemerintah telah mengirim Inspektur Tambang untuk mengevaluasi aktivitas di lapangan.
Kementerian ESDM (Dirjen Minerba) menyatakan belum ditemukan masalah signifikan dalam tambang yang dikelola PT Gag Nikel setelah peninjauan langsung.
Politikus Golkar, seperti Melchias Markus Mekeng dan Sarmuji, membela Bahlil. Mereka menilai bahwa Bahlil hanya “mewarisi” izin yang sudah keluar sejak 2017 dan menyatakan bahwa kritik kepada Bahlil tidak tepat sasaran.
Golkar menganggap reaksi cepat Bahlil dengan menghentikan sementara aktivitas tambang sebagai bentuk tanggung jawab dan transparansi.
Legalitas vs Dampak Ekologis
Meski izin tambang sah secara hukum, ada konflik dengan perlindungan pulau kecil dan lingkungan laut.
Penilaian Lapangan Pemerintah vs Dokumentasi Greenpeace: Pemerintah melihat tidak ada sedimentasi, sedangkan Greenpeace mendokumentasikan kerusakan nyata.
Kritik Publik vs Pembelaan Politik: Aktivis menyerukan pencabutan izin, sedangkan elite politik cenderung membela status quo dan menilai persoalan ini lebih sebagai “warisan lama”.
Isu tambang nikel di Raja Ampat bukan sekadar persoalan legalitas izin, tetapi menyentuh aspek kelestarian ekosistem, tata kelola sumber daya alam, dan keberpihakan kebijakan terhadap lingkungan.
Greenpeace menekankan bahwa langkah nyata seperti pencabutan izin jauh lebih penting daripada hanya mengevaluasi atau menghentikan sementara.
Sementara pemerintah dan sebagian politisi masih melihat persoalan ini dalam kerangka prosedural dan legal.
(*)